Secuil Sejarah Pembangunan Jakarta 2


* Tulisan ini adalah sambungan dari postingan sebelumnya yang masih hasil copas dari http://alifuru.tripod.com/jakarta/ts_ibukota.htm. Tulisan warna biru masih merupakan komentar nggak penting saya :).

—–

Sebelumnya: Jakarta telah menjadi The New Emerging Force di tahun ’60-an. Satu demi satu landmark dibangun dan masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Situasi politik di tahun ’65 sempat menjadi catatan buruk yang muncul karena ketimpangan kesejahteraan yang begitu nyata.

SESUDAH 1970

Namun, berkah minyak (oil boom) pada dasawarsa 70-an, telah memicu sejumlah perubahan baru, walaupun tidak terlampau mempedulikan kualitas lingkungan hidupnya. Ekspansi jalan kian mengembang ke arah Jl. Sudirman yang juga telah memiliki sejumlah gedung perkantoran misalnya Wisma Arthaloka (1976), demikian juga Wisma Metropolitan I. Sedangkan Gedung Granada (Veteran mulai tahun 1973) dan pada tahun-tahun berikutnya menyusul gedung Panin, S.Widjoyo Center serta Ratu Plaza, ini dikembangkan pada akhir dasawarsa 1970-an.

KRL yang (tidak)humanis

Adapun jalur Kuningan, mulai dikembangkan pada awal 70-an. Pembangunan Jaya merupakan kontraktor utama pembangunan Jl. HR. Rasuna Said, dengan panjang 3.885 m dan lebar 40 m. Di kawasan ini gedung yang pertama pertama berdiri adalah Gelanggang Soemantri Brojonegoro (1974). Sedangkan jalur MT Haryono menuju Pasar Minggu pada tahun 1974 pula didirikan perkantoran Five Pillar Office Park.

Menjelang berakhirnya dasawarsa 80-an, puluhan gedung baru bermunculan, misalnya Pronce Centre (Gedung Pangeran), Chase Plaza, Wisma Indocement, Wisma BCA, Summitmas Tower Mid Plaza, Sentral Plaza, Wisma Bumiputera, dan sebagainya. Demikian pula dengan gedung Bank Pemerintah yang mengambil lokasi di Jl. Sudirman.

Pada tahun 1995 menurut data PT Procon Indah/JWL Research ada 5 gedung baru yang rampung dibangun di kawasan Segitiga Emas (MH Thamrin – Soedirman; Gatot Subroto; HR Rasuna Said), yakni Bappindo Plaza, Gedung Artha Graha, Gedung GKBI, Jakarta Stock Exchange Building, Summitmas II, dan Plaza Exim. Satu tahun berikutnya, di kawasan tersebut juga telah dirampungkan gedung-gedung baru seperti Wisma BNI II, BII Plaza 2 dan 3, Menara Imperium, Anggana Danamon I dan II, dan sebagainya.

Bersamaan dengan tumbuhnya gedung-gedung perkantoran, di Jakarta juga terus disarati dengan gedung pertokoan baru (plaza dan super plaza) serta rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan). Di Jakarta Selatan hadir dua super plaza: Blok M Mall dan Blok M Plaza, di samping Pondok Indah Mall, Plaza Bintaro dan Plaza Cinere. Di Jakarta Pusat di kawasan Pasar Baru juga dibangun plaza baru, selain Plaza Indonesia dan Plaza Senayan serta menyusul kemudian Komplek Cempaka Mas. Di Jakarta Utara ada Mal Kelapa Gading. Di Jakarta Timur, dengan Sentra Primer Baru Timurnya juga mengalami perkembangan pesat. Misalnya di sepanjang Kalimalang, Pulogebang, Klender dan Jatinegara. Di Jakarta Barat telah berkembang pesat Mangga Dua (1988). Apalagi didukung oleh proses renovasi areal Chinatown di Pasar Pagi dan Petak Sembilan. Kawasan Mangga Dua yang merupakan pusat grosir makin diramaikan dengan hadirnya Mangga Dua Mas dengan komplek Jakarta International Trade Centre (JITC). Sementara di Roxy, hadir komplek Roxy Mas, Tomang Plaza, Tomang Toll Shop, Mall Taman Anggrek, Citra Land, Puri Indah Mall, Mall Mega Pluit, dan sebagainya.

Rumah (tidak)humanis di pinggir Kali Manggarai, Jakarta

Perkembangan yang demikian gencar itu kemudian seolah diinterupsi oleh kerusuhan Mei 1998. Puluhan dan bahkan ratusan gedung kantor, pertokoan, mall, dan pemukiman mewah dibakar oleh amuk massa yang sulit dibayangkan. Para sosiolog maupul psikolog menganggap bahwa kejadian itu tidak lain dari ledakan amarah akibat ketimpangan yang terlampau berlebihan. Karena itu mungkin, ada baiknya kita mengikuti apa yang dipikirkan Peter Hall (Three Systems, Three Separate Paths, 1991) bahwa Jakarta sudah saatnya mengembangkan perencanaan humanopolis yaitu kota yang lembut dan manusiawi dengan menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan oleh perlakuan manusia yang sewenang-wenang terhadap alam dan mengolah hubungan antar manusia dan lingkungan binaannya secara akrab. Tanpa kesediaan itu, maka kehancuran akan semakin cepat. Dan, Jakarta setidaknya dapat belajar dari pengalaman terdekatnya; Oud Batavia.

—-

Leave a comment